Cerbung #6 MClarissa

Clarissa ยต

Pagi-pagi benar Maya harus sampai ke kampus untuk membantu Bagas menyelesaikan tugasnya. Ia baru datang tadi malam dan menolak untuk membantu teman sekelasnya pada saat itu juga. Meskipun ia tidak keberatan untuk membantu teman-temannya, tapi Maya paling tidak suka jika dimintai tolong secara mendadak. Terlihat Bagas sedang terduduk dan memejamkan matanya, “Bagas, jadi ngerjain gak?” Maya berbisik kearah Bagas yang masih terlelap, yang ditanya hanya mengangguk tanpa membuka matanya. Kali ini Maya mulai membangunkan Bagas dengan panggilan telepon. “Halo, Gas. Jadi ngerjain gak nih?”
            Bagas mengangkat telponnya sambil terkantuk-kantuk, “Iya jadi, lo cepetan dateng dong! Keburu tidur lagi nih gue!”
            Maya mengintip mata Bagas yang seratus persen masih terlelap, “Heh! Gue dah dateng daritadi, buka mata lo!” Kali ini Maya sedikit mengeraskan suaranya dan terlihat kekagetan dari Bagas yang langsung membetulkan posisi kacamatanya. Maya langsung menutup telfonnya dan menatap tajam kearah Bagas, cowok itu hanya menampilkan senyum tak berdosa kepadanya.
            Bagas celingak-celinguk kebelakang Maya, “Kerjaan lo dimana May?”
            “Oh, punya gue. Dibawa Riana.”
            “Lo semudah itu ngasih kerjaan lo ke dia?”
            “Kan lo tau sendiri gue klop banget sama dia. Wajar lah,”
            “Lo gak takut dia ngerusakin karya lo?”
            “Ih, lo apaan sih Gas! Main suudzon aja.”
            “Eh denger ya May, gak selamanya temen itu baik buat lo. Bahkan orang yang lo anggap musuh aja bisa jadi temen lo, begitu juga sebaliknya. Gue emang ngerti kedekatan kalian, tapi lo jangan terlena. Jangan sampe dia manfaatin lo aja, apalagi ini tugas akhir. Jangan sepenuhnya percaya sama orang yang lo anggap temen, karna bisa jadi dia bakal nusuk lo dari belakang.”
            Maya mendongak mendengar kata-kata Bagas, dia memang cowok paling bandel dikelas, namun juga paling bijaksana. “Thanks ya Gas atas nasehat lo, tapi gue percaya Riana gak kaya gitu. Tenang aja, gue bakal ati-ati.” senyum ketulusan mengembang dibibir Maya, tugasnya membantu Bagas telah selesai tepat waktu. Temen-temen sekelasnya mulai berdatangan, hari ini waktunya pengumpulan tugas rancangan arus listrik dari Pak Richard. Beliau selalu datang tepat waktu dan meminta mereka mengumpulkan tugasnya. Maya mendatangi bangku Riana dan menanyakan kertas striminnya. “Na, kertas gue dong?” Riana hanya menundukkan kepalanya dan berkata maaf. “Maaf kenapa Na?”
            “Maafin gue May, kertas lo…”
            “Kertas gue? Ada apa sama kertas gue? Lo gak nyobek kertas gue kan?” tanya Maya sedikit bercanda.
            Kini Riana mulai mendongakkan kepalanya, matanya berkaca-kaca “Kertas lo ketinggalan di Kebumen May.” Kini ia mulai terisak. Maya terbelalak mendengar pengakuan dari Riana yang diluar dugaannya, tugas yang ia kerjakan semalaman dan menurutnya sudah sangat sempurna itu tidak ada dihadapannya sekarang. Tugas yang seharusnya sudah ia susun beberapa minggu yang lalu itu tidak terkumpul pada saat yang tepat, semua perencanaan dan hitungan yang baru pertama kali dilalui Maya dengan berhasil itu kini lenyap. Rancangan arus listrik Maya terancam tidak mendapatkan nilai yang setimpal. Seketika itu Maya ingin meneriakkan amarahnya didepan Riana, temannya itu beruntung karena sudah ada Pak Richard didalam kelas. Maya hanya dapat terpaku dibangku Riana sambil menunggu reaksi dari Pak Richard yang tidak mendapati hasil karya dari dirinya.
            “Terimakasih atas tugasnya, emm tunggu.” Pak Richard meneliti tugas mahasiswanya satu per satu. “Maya, where are you?” Maya mengangkat tangannya dan masih berdiri disamping bangku Riana. Pak Richard menurunkan kacamatanya seakan menyelidik Maya “What happen with you? Dimana tugasmu?”
            Maya menurunkan pandangannya kearah Riana yang tak mau menatap kedepan, ia begitu marah saat ini namun tidak dapat menyalahkan siapa-siapa, “I’m sorry Sir, Saya lupa membawa tugas itu kemari.” Maya melihat amarah dimata dosennya itu. Kini ia menundukkan pandangannya.
            “Lupa kau bilang? Kau bukan Maya yang saya kenal.” Pak Richard menghela napasnya “Ok, you know the risk right?” tanya Pak Richard kepada Maya, ia mengangguk pelan. “Silakan keluar Miss Clarissa, dan perbaiki ingatanmu.”
            “Yes Sir, I’m sorry.” Maya mengambil tasnya dan keluar meninggalkan ruangan, ia tau kali ini akan sangat berat baginya memikirkan tugas skripsi yang akan ia ambil. Mengingat tugas akhir dari Pak Richard merupakan nilai yang berpengaruh sangat besar untuk tugas skripsinya. Ia terduduk lesu didepan auditorium sambil menerawang jauh kedepan. Ia memikirkan apa yang dikatakan Bagas kepadanya, Jangan sepenuhnya percaya sama orang yang lo anggap temen. Tak lama kemudian, Erika datang menyambut kelesuan sahabatnya itu. Maya cepat-cepat menghapus pikirannya yang jelek itu.
            “Oh May, muka lo pucet banget! Lo sakit?”
            “Gak Er, gue pengen crita.” Maya mencurahkan segala isi hatinya kepada sahabatnya itu, Erika paham dan mengontrol gaya bicaranya. Ia tau saat ini sahabatnya bener-bener kesusahan, ia gak akan mencampur adukkan bercandaanya kepada Maya saat ini. Rika ikut terbawa suasana yang dibawa Maya, kini ia begitu marah dan secepatnya ingin menerjang orang yang bernama Riana.
            “May, lo baik-baik aja kan?” tanya Bagas tiba-tiba, ia datang pada saat yang gak tepat.
            “Heh, lo temennya sekelasnya Maya kan? Lo pasti tau gimana keadaanya dikelas tadi? Dan sekarang lo kesini buat tanya kalo dia baik-baik aja. Lo gila ya bilang gitu! Lo kira nilai Maya bakal selamat kalo lo cuman bilang gitu?” kata Rika nyolot.
            “Kok lo yang nyolot sih! Gue kan pengen tau keadaannya dia. Dia juga temen gue!” bentak Bagas gak kalah nyolot.
            “Lo beneran bego apa pura-pura bego sih! Ya jelaslah dia kenapa-napa gara-gara kejadian ini. Lo sama sekali gak bantu dia tau!” Rika masih dalam amarahnya.
            “Cukup! Lo berdua apa-apaan sih? Kalo mau adu mulut jangan disini! Gue gak butuh teriakan kalian!” Maya menengahi mereka sambil mengamati mereka berdua. “Maaf gue emosi, jangan ikutin gue dulu.” Ia langsung melangkah pergi.
            “Loh May, gue kan baru sampe.” teriak Rika yang tidak digubris oleh Maya. Ia melirik sadis kearah Bagas yang telah menahan amarahnya. Mereka kembali ke tempat masing-masing.
            Maya berdiri ditempat paling atas gedung auditorium, ia sering mengunjungi tempat itu jika ingin mendapatkan inspirasi. Namun kali ini pikirannya sedang kalut, tujuan ia datang kemari berbeda dengan tujuannya kemarin-kemarin. Ponselnya berdering beberapa saat setelah ia bersandar ke tiang bendera. Nomor baru tertera dilayar ponselnya.
            “Halo..”
            “Hai Dek, apa kabar?”
            Maya kenal suara ini, pemuda yang ia temui dikabupaten bulan lalu. “Hai kak, nomor baru?”
            “Iya, suaramu lesu banget. Lagi sakit?”
            “Enggak kok, cuma lagi emosi aja. Oya, keadaanku gak baik.”
            “Kenapa? Ceritain deh, mumpung aku lagi gak sibuk.” Maya menceritakan pengalamannya hari ini, ia masih terbawa emosi. Pemuda itu mengerti tantangan yang harus dilalui seorang mahasiswa, apalagi disaat mendekati ujian akhir seperti ini. Kata-kata hiburan dan motivasi didapatkan Maya kali ini, termasuk kata-kata yang sama persis dikatakan oleh Bagas tadi pagi. Ia bisa belajar banyak dari pengalaman kegagalan yang telah diceritakan balik kepada Maya.
            “Oya kak, dari awal kita ketemu. Kita gak pernah nyebutin nama deh.” kata Maya setelah tenang mendapatkan gambaran kehidupan mahasiswa oleh pemuda itu.
            “Ha….ha….ha iya ya, Aryo. Namaku Aryo, kamu dek?”
            “Aku Maya. Makasih kak atas nasehatnya, sangat membantu.” Maya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada pemuda itu. Mereka berjanji akan bertemu lusa, Aryo ingin menanyakan tentang rancangan arus listrik yang baik untuk proyeknya kali ini.

*** 

Komentar

Postingan Populer