Cerbung #5 MClarissa

Clarissa µ

            Suara adzan subuh membangunkan Maya dari tidurnya yang sangat singkat. Ia baru bisa tertidur dua jam yang lalu karena tugas yang ia kerjakan semalam. Sebagai mahasiswi teknik elektro, ia harus mampu merancang susunan arus listrik yang digambar dalam kertas strimin berukuran A3 dalam waktu satu hari. Selain karena waktu yang diberikan tidak cukup banyak, ia harus memperkirakan segala sesuatunya terlebih dahulu sebelum menggambar. Bagi gadis semi laki-laki seperti Maya, tugas gambar yang gak langsung diselesaikan akan merubah segalanya. Entah itu dari posisi gambar, skala yang digunakan, maupun ukuran-ukuran lainnya yang sedemikian rumit. Maya bukan gadis yang suka menunda pekerjaan, selain pelupa, ia akan cepat marah apabila pekerjaannya tidak seperti apa yang ia harapkan. Riana, adalah temen kerja bagi Maya. Dibilang temen kerja karena mereka selalu bersama jika mengerjakan semua tugas menggambar, sama-sama bisa diajak bekerja dengan cepat dan selalu bersaing sehat dalam urusan presentasi. Setelah sholat subuh, Maya melanjutkan tidur part duanya.
            “Maya! Banguuun!” lengkingan suara gadis yang dikenalnya terdengar dari kamar Maya. Akhir-akhir ini Maya memang sedang dekat dengan gadis yang dikenalnya saat ospek dahulu, bukan dekat dalam arti mereka lesbian. Maya mendapat teman baru yang berbeda jurusan dengan dirinya, Erika Saviana. “Hei! Banguuuun!” kini Rika telah mengguncang tubuh Maya begitu keras.
            “Lo ngapain sih Er? Gue masih ngantuk. Minggir!” Maya menarik selimutnya kembali. Rika tak patah arang untuk membangunkan temen barunya itu, ia membangunkan Rika bukan tanpa alasan.
            “Heeemmmm, yaudah deh kalo gak mau bangun gue tinggal ke konsernya Vani.” mendengar kata-kata itu, Maya langsung terbangun meskipun dengan mata terpejam.
            “Emang ini jam brapa?”
            “Jam Sembilan lewat dua puluh tujuh menit.”
            “Hah!” Maya membelalakkan matanya dan segera mengambil handuk untuk segera mandi. “Erikaa, tungguin guee!!” jerit Maya seraya mondar-mandir kebingungan saking paniknya. Rika yang mendengar jeritan Maya dari bawah cekikikan sendiri sembari duduk didepan TV. Rika sering berkunjung kerumah Maya ketika mereka pulang kampung, selain itu orang tua mereka juga teman sekantor. Meskipun demikian, mereka baru mengenal satu sama lain ketika ospek dikampus.
            Maya selesai sepuluh menit kemudian, meskipun ia semi laki-laki. Dandanannya tidak terlalu mencolok seperti kebanyakan gadis tomboy lainnya, ia tetap dalam kodratnya sebagai cewek. Suka gonta-ganti gaya rambut dan mengecatnya, pake aksesoris cewek, kenal sama make-up, namun gak pernah mau pake sepatu cewek. Kini ia tampil casual dengan boots panjang hampir selutut dengan atasan singlet yang dibalut dengan cardigan, rambutnya dibiarkan tergerai dengan balutan syal tipis dilehernya, tak lupa pula jam tangan classic yang selalu dipakainya dimana saja. Selanjutnya ia mengambil kacamata hitam dan memakaikannya sebagai bando. Maya terkejut melihat penampilan Rika yang sedikit feminim, biasanya jika mereka akan menonton konser, Rika akan tampil casual dan sangat modis. Tapi sekarang? “Kok lo formal banget sih?”
            “Kita bukan mau nonton konser band May. Lihat sikon dong.” sahut Rika sambil terbengong-bengong.
            Maya memutar bola matanya “Gak ada golden rules buat penonton kan? Yuk cabut.” mereka pergi menggunakan mobil Rika, kali ini sang pemilik mobilnya yang menyetir sendiri. Biasanya jika pergi dengan Maya, Rika gak pernah mau nyetirin buat temen barunya itu. “Eh Er, lo bener mau kenalin gue ke Vani kan?”
            “Kalo sempet ketemu ya May, fans dia banyak banget masalahnya. Lo tau kan, gue paling gak suka nunggu lama.”
            “Halah, langsung serbu lah! Kayak biasanya.”
            “Inikan beda May, dia temen gue dari kecil. Pasti ngobrolnya lebih lama lah, masa iya gue mau ngusir fans-fans nya?”
            “Ya kali aja.”
            “Emang kenapa sih lo ngebet banget pengen kenal sama dia?”
            “Em gue…” Maya menghela napas panjang yang tidak diketahui Rika apa maksudnya. Ia masih menunggu kelanjutan kalimatnya. “Gue pengen nembak dia Er, gue naksir dia.”
            Rika memperlambat laju mobilnya dan menepi dibawah pohon. “Maksud loe?”
            Maya menundukkan pandangannya dan melihat keluar jendela, “Maafin gue. Tapi inilah kenyataannya.” Kini Rika geram dengan kata-kata Maya, ia menarik syal Maya namun bisa dicegah agar tidak mencekik.
            “Lo! Otak lo tu dimana sih! Dia sahabat gue! Dia cewek baik-baik! Lo pikir gue bakal diem aja kalo dia dideketin cewek aneh kaya lo!” Rika semakin mempererat tarikannya terhadap syal itu, kini Maya bener-bener berhenti bernapas.
            “Lepasin Rik! Lo denger dulu penjelasan gue!”
            “Apa? Gue kudu ngedukung lo gitu? Gue tau lo tomboy, tapi lo tu cewek May, sadar dong!” Rika semakin menarik syal itu saking emosinya, ia tak peduli temen barunya itu kehabisan napas atau enggak.
            “Tunggu Rik dengerin gue!” Kini Maya sedikit membentak Rika yang diikuti dengan mengendurkan tarikannya. “Oke, sekarang lo tenang. Gue mau ngaku saat ini juga.”
            Rika masih menatap Maya dengan sorotan tajam, “Er, lo sekarang harus percaya sama gue.” Rika tidak menanggapi omongan Maya yang masih bertele-tele. “Gue ngaku kalo dari tadi gue ngerjain lo!” suasana hening sejenak yang kemudian disusul oleh gelak tawa dari Maya yang sedari tadi dipendamnya, ia tertawa sungguh puas setelah melihat ekspresi kemarahan sekaligus takut kepada Maya itu.
            Kini Rika mulai melepaskan syal Maya, ia menghempaskan tubuhnya ke jok. Sambil berkata lemas, “Hampir aja gue ngebunuh lo dan percaya kalo lo itu lesbian.” Ia tidak mendengar jawaban dari Maya dan hanya mendengar tawanya yang masih terbahak-bahak.
            “Oalah to Er, Er. Lo masih aja ya kena gue kerjain, baru berapa lama sih lo kenal sama gue? Ha?” Maya mendekatkan wajahnya kearah Rika sambil tertawa mengejek.
            “Ini yang bikin gue males nyetirin lo. Waktu gue kebuang buat ngelayanin lo tadi tau!” Rika mulai membawa mobilnya kembali dengan perasaan kesal, dari dulu ia memang paling cepet ketarik emosinya.
            Mereka sampai di gedung diadakannya konser Vani, merekapun memasuki ruangan setelah memarkirkan mobil disisi gedung. Maya kaget memasuki ruangan itu, tak ada satupun remaja yang antusias melihat pertunjukan band metal yang sedang tampil. Terlihat mereka banyak yang menutup telinga kecuali pasukan band metal yang setia saat temannya sedang tampil itu. “Sekarang, siapa yang salah kostum?” tanya Maya sambil melirik kearah Rika. Pertanyaan itu tidak digubris Rika yang masih kesel dengan candaan Maya di mobil tadi. Maya-yang-gak-suka-dicuekin itu terus menanyakan hal-hal yang gak penting ke Rika agar ia meu berbicara.
            “Heh, temen baru gue-yang selalu manggil gue dengan nama yang berubah-ubah! Lo bisa diem gak? Vani mau tampil, bungkem tuh mulut lo!” kata Rika sadis, masih dengan nada yang sangat ketus. Beberapa menit setelah itu, Vani memasuki ruangan dan memberi penghormatannya. Ia sangat cantik malam ini, dan selalu tampil cantik. Semua penonton dengan sekejap membungkam mulutnya untuk menikmati alunan indah yang diberikan Vani. Gemuruh tepuk tangan menggema diseluruh penjuru ruangan.
            “Loh loh loh Er, mereka lari ke pintu kanan! Ayo cepetan!” Maya menarik tangan Rika yang sedari tadi mengutak-atik HPnya. Mereka telah berdiri di pintu kanan gedung tempat meet & greet Vani yang bejubel dengan fans-fansnya dari Boyolali. “Nih acara apa-apaan sih? Bilangnya acara amal, tapi penontonnya gak karuan kayak gini pada ke Vani semua.” Maya menggerutu karena tidak dapat menemui Vani saat itu juga.
            “Disebelah Vani ada album CDnya, dan itu dijual. Ntar hasil penjualannya dikumpulin di badan amal, selain itu mereka yang beli maupun cuman minta fotonya bakal terdata melalui tiket masuk dan tercatat telah membayar iuran untuk amal juga. Makanya mereka pada kesana, selain dapet pahala, mereka juga bisa deket sama Vani.” jelas Rika panjang lebar.
            “Oo gitu, hebat juga ya. Gue mau ngantri disini aja deh.” Rika tak menggubris omongan Maya.
            “Eh May, cabut aja yuk? Ini pasti lama banget tau! Bikin bete.”
            “Yah, Rik. Lo kan bilang mau nemenin gue ketemu sama tuh cewek.”
            “Keadaan gak memungkinkan, Maya. Gue males nungguin sampe penonton abis, gue cabut ah.” celotehan Rika tidak digubris Maya, ia langsung berjalan keluar dengan sesekali menengok teman barunya itu. “Heh May! Lo gak mau ikut? Lo mo naik angkot hah?” tanyanya kemudian setengah berteriak.
            Untuk saat ini, mau tidak mau Maya mengikuti langkah Rika pergi. Ia mendengus perlahan karena ajakannya tidak mempan untuk Rika, cewek itu memang sangat susah kalo diajak nunggu. Terbukti saat ini juga Maya harus menerima ajakan Rika untuk pulang karena ia hanya menumpang. “Kalo jarak antara rumah gue ke tempat ini deket, gue terima lo ninggalin gue.” kata Maya sesaat setelah masuk kedalam mobil.
            Rika senang melihat ekspresi kecewa diwajah Maya, ternyata ia berhasil membalas perbuatan Maya saat perjalanan tadi. “Ha…ha…itu hukuman buat lo, yang suka bikin gusar!”
            “Eh, lo bales dendam ya.” Maya mencubiti tangan kiri Rika yang sedang memegang kemudi. Mobil itu sempat oleng karena Rika menjauhkan tangannya sambil tertawa lepas. Satu sama untuk mereka. Maya sangat ingin bertemu dengan Vani karena sepupunya yang sangat mengidolakan gadis itu. Ia berniat membelikan album CD beserta tanda-tangan Vani kepada sepupunya itu agar lebih bersemangat lagi dalam melenturkan jemarinya diatas tuts piano. Dan rencana itu musnah karena teman barunya yang satu itu, Rika, dia bagaikan pengacau dalam semua rencana yang telah disusun Maya. Bukan Rika kalau dia tidak bisa membantu, ia menawarkan meminta album CD sahabatnya itu dengan Cuma-Cuma saat Rika bermain kerumah Vani. Hal itu membuat Maya lebih lega.
            “May, gue langsung cabut ya. Sori buat hari ini!” Kata Rika setelah Maya keluar dari mobilnya.
            “Sori, sori, gue tau lo sengaja! Curang lo!” jawab Maya sambil membungkukkan badannya di jendela mobil Rika.
            “He..he..h soal album Vani biar gue yang urus ya. Bye Maya!” Rika meninggalkan Maya yang berjalan menuju garasi tempat mobilnya diparkir. Sedan merah yang masih terlihat baru peninggalan kakeknya itu masih berdebu sisa perjalanan kemarin, Maya belum sempat mencucinya karena hari ini ia bangun siang (lagi). Sebelum menaiki mobilnya, Maya teringat sesuatu. Ia berlari menuju kamarnya untuk mengambil SLR yang baru dibelinya tiga bulan yang lalu. “Kemana lagi May?” tanya kakaknya kemudian.
            “Keluar bentar Kak, cari objek foto.” Maya melaju dengan kecepatan rendah meskipun ia telah memikirkan tempat yang akan ia tuju. Sebuah komplek pemerintahan yang baru dan bernuansa putih menjadi daya tarik tersendiri untuk Maya, berbagai macam bangunan yang dirancang untuk kemajuan kota tercinta sebagian telah rampung dikerjakan. Gedung pertama yang ia telusuri adalah gedung DPR versi Boyolali, ukuran yang lebih kecil dari gedung utama di Jakarta itu memiliki kesan tersendiri. Sekeliling bangunan itu terdapat taman yang menyejukkan mata, namun Maya tetap berpikir untuk settingan didalam gedung.
            Gedung kedua yang ia kunjungi adalah bangunan terbesar dikantor pemerintahan itu, bangunan yang beraksen gedung putih nan megah. Maya kagum dengan pembangunan kota tercintanya yang begitu pesat, ia masih memotret dan berangan-angan tentang settingan didalam gedung. Sambil menyeruput es jeruk yang dibelinya didepan pendopo, ia mengamati hasil foto yang masih belum memuaskannya. Ia berniat untuk berkeliling kembali setelah melepas dahaganya.
            Seseorang mendekati Maya dari samping, “Lagi cari gambar yang bagus?” Maya mendongak untuk melihat wajah orang itu, nampaknya seorang pemuda yang belum pernah Maya temui sebelumnya. Ia hanya mengangguk dan pemuda itu duduk disamping Maya, ia memberikan hasil jepretannya kepada Maya dan bercerita sedikit tentang bangunan yang ia anggap unik tersebut. Pemuda itu sedang mencari inspirasi untuk proyek terbarunya merancang bangunan unik dan elegan. Maya begitu antusias mendengarkan cerita dari pemuda itu dan diperbolehkan memiliki fotonya. Ia mendapat inspirasi baru saat ini, sebagai bahan pertimbangan untuk menggarap skripsinya. Pemuda itu tidak lain adalah kakak tingkat Maya di kampus, ia telah menyelesaikan studinya dua tahun yang lalu.
            “Dek maaf ya, kali ini aku gak bisa nemenin. Kalo kamu butuh bantuan, bisa hubungi aku dinomor itu. Duluan ya,” pemuda itu menjauh sambil merapikan kameranya. Maya benar-benar mendapatkan inspirasi untuk bahan skripsinya kali ini.

*** 

Komentar

Postingan Populer