Cerbung #4 ESaviana


Viana ·



         Seperti yang kami duga, mereka telah menunggu dibalai pertemuan untuk mendapat jatah makanan. Kebanyakan dari mereka menjitak kepala kami karena kelamaan. Setelah dibagikan, mbak Sofi sadar bahwa makanannya kurang 2. Ia memintaku untuk kembali membelinya, “Eh, gak usah mbak. Aku sama Riko udah makan kok tadi, ya ambil di jatah makan maksudnya” kataku saat mbak Sofi mulai resah.
            “Iya mbak gak usah, kami juga udah minum es degan kok tadi disana. Sekarang kami mau pulang dulu, boleh kan mas Ardan?” lanjut Riko sambil memutar-mutar kunci motornya.
            “Wooo lha pasangan semprul! Makane og lama banget! Jangan boleh pulang Dan, paling mau pacaran sama Erik kui” kata mas Fatih, ia orang yang paling kompor untuk urusan ejekanku sama si Riko.
            “Heh sembarangan! Ini wujud protes kita karena sering ditindas mas, lagian siapa suruh ngerjain kita habis-habisan. Kelaparan to welk?” aku menjulurkan lidahku kearah mas Fatih, ia bersiap-siap menjitak kepalaku lagi namun dilerai oleh mas Ardan. Kami diperbolehkan pulang untuk acara nanti sore. Kami sebagai seksi acara harus datang satu jam sebelum acara dimulai, ternyata mas Febri juga menyusul kami pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya nanti.
            Acara hari ini adalah perlombaan anak-anak, seperti perlombaan tujuh belasan. Anak kecil dikampung kami lumayan banyak dan mereka sangat antusias mengikuti acara yang kami selenggarakan. Mulai dari lomba pecah air yang diestafet dengan balap karung, lomba kelereng dengan memasukkan pensil dalam botol, lomba makan kuaci dengan kempit balon, dan masih 3 pasang perlombaan lagi. Semuanya diikuti anak-anak itu hingga larut malam, mereka akan mendapatkan hadiahnya esok ketika malam puncak HUT karang taruna kami. Saat kita semua memberesi barang-barang yang berserakan, seseorang datang membawakan martabak telor kesukaan kita. Dari dulu setiap kita selesai event, kita selalu iuran untuk membeli martabak telor langganan kita. Sekarang ada yang ngebayarin kita buat makan martabak. Siapa lagi kalau bukan Vani, dia satu-satunya panitia yang gak ikut ngurusi acara ini. “Hallo semua,” sapanya ketika sampai dibalai rapat kami. “Maaf ya, Vani gak ikut bantu-bantu kalian disini.”
            “Gapapa Van, udah ada pengganti kamu kok. Dobel malah.” kata mas Fatih sambil mencomot martabaknya. Aku hanya memberikan tatapan sinis kepadanya. Riko menawariku acar yang ia perebutkan dari kami semua, mereka selalu menyembunyikan acar dariku karena pada dasarnya. Aku menyukai acar martabak, rasanya memang beda dari acar-acar yang lain dan cucok banget buat disantap bareng martabaknya. Setelah selesai menghabiskannya, Vani mendekatiku,
            “Kamu balikan sama Riko?” tanyanya kemudian.
            Aku menatapnya kaget “Hah? Kapan aku pernah pacaran sama dia?”
            “Dulu waktu kita kelas 6, kamu pernah kan pacaran sama dia?”
            “Yaelah Van, itu cinta monyet. Cuman seminggu.”
            “Yah, sama aja. Jadi beneran kalian balikan?” aku menatapnya dengan tatapan lebih heran lagi. “Kamu gak bisa nyembunyiin itu dari aku Ka, dari tadi aku memperhatikan kalian berdua. Dan kamu keliatan seneng banget.”
            Kali ini aku menyerah, Vani paling bisa ngerti suasana hatiku. “Iya deh aku ngaku. Seminggu ini aku deket sama dia, kita dikerjain bareng sama temen-temen. Aku juga ngerasa nyaman sama dia, nyambung kalo diajak ngobrol, dia sedikit perhatian sama aku dan yang paling penting, dia bilang kalo dia juga nyambung kalo ngobrol sama aku. Tadi sore sebelum acara dan sebelum temen-temen dateng, dia kasih kalung yang belum sempat dia kasih ke aku waktu kita pacaran dulu. Nih kalungnya. Dan kamu tahu, kalung itu udah gak ada dipasaran, dia nyimpen kalung itu cuman buat aku Van. Dia sempet mau ngasih kalung itu ke pacar barunya pada saat itu, tapi gak jadi. Dia nungguin aku meskipun dia udah pacaran sama banyak cewek. Aku juga gak bisa mangkir, dia pacar pertamaku dan mungkin dia juga bisa jadi pacar terakhirku?”
            Vani tersenyum mendengarkan penjelasanku. “Aku udah duga sebelumnya, senyumanmu terhadap dia memang beda dengan senyumanmu dengan cowok lain. Apalagi sama mantan-mantan kamu. Aku seneng kamu balikan sama dia.”
            Kali ini aku memeluk gadis itu, dia gak berubah sama urusan perasaan temannya. Selalu bisa ngerti situasi yang aku rasain saat ini, sampai pada akhirnya ia pulang lebih awal karena Aira mengajaknya pulang. Dan aku lupa menanyakan hubungannya dengan mas Ardan. Sial!
***
            Malam ini adalah puncak HUT karang taruna kami, seperti biasa. Aku, Riko, dan mas Febri datang satu jam lebih awal dari yang lainnya. Terlihat mas Ardan dan mas Jono pun telah siap dibangku panitia. Aku segera menyalami mereka dan memastikan semuanya sudah siap. Karena pengisi acara juga hanya sebatas warga kampung, aku meminta mereka untuk datang setengah jam lebih awal. Mereka kami minta untuk duduk dibackstage yang notabene adalah balai rapat kami. Suara lantang dek Galang dan dek Risma mengantarkan kita ke awal acara, mereka adalah pasangan yang klop untuk dijadikan pembawa acara. Suaranya yang mirip penyiar radio dan dapat menggugah suasana membuat mereka semakin cocok sebagai MC.
            Acara dibuka dengan sambutan ketua RT setempat, pemotongan tumpeng, dan sambutan ketua panitia. Dilanjutkan dengan acara dance oleh anak-anak dan remaja kampung, pembagian hadiah, acara menyanyi ibu-ibu dan bapak-bapak, games, band dari bapak-bapak dan perwakilan remaja, dan gak kalah penting adalah penampilan Vani yang memukau. Ia selalu tampil professional dimanapun ia berada, kemudian dilanjutkan potong kue ulang tahun karang taruna yang diiringi alunan piano dari Vani.
            Acara terakhir adalah penerbangan lampion, sesuai dengan ideku yang muncul saat membantu mas Ardan membetulkan lampu hias dipanggung. Para pemuda telah bersiap untuk menerbangkan lampion yang berjumlah 20 itu, sesuai dengan umur karang taruna kami. Ternyata benar, temen-temen kami yang memiliki pacar semuanya berkumpul disini. Lampion satu persatu mulai meninggalkan kami disusul dengan tepuk tangan warga yang menyaksikannya. Aku melihat Riko sedang tersenyum kearahku, dan kubalas senyumannya.
            “Keren banget ya, kamu memang spesialis romantis deh Ka.” kata Vani sambil mengamati lampion-lampion itu
            Aku tersenyum dan menatap Vani seperti teringat sesuatu. “Eh Van, emang kamu dah jadian ya sama mas Ardan?”
            Vani menatapku kaget “Hah, kata siapa?”
            “Kata mas Ardan sih, dia gak akan ngajak siapa-siapa kesini. Soalnya ceweknya udah ada disini. Siapa lagi sih kalo bukan kamu?” kataku menjelaskan.
            “Oya? Tapi dia gak pernah deketin aku lagi tuh.”
            “Halah gak perlu bohong, traktir aku lah Van.”
            “Apaan sih Ka, aku gak jadian sama mas Ardan.” kini aku melihat Vani jujur, gak terlihat seneng kalo lagi diejek.
            “Kamu serius?” tanyaku sekali lagi. Vani hanya mengangguk dan menatap lampion-lampion itu lagi, dari dulu ia memang tidak menarik minat dengan cowok itu. Tapi kalau bukan Vani, lalu siapa?
            Warga satu persatu pulang meninggalkan tempat ini, kali ini kita dibantu petugas kebersihan untuk beres-beres daerah panggung. Namun bukan berarti beliau juga memberesi balai kami. Mas Ardan naik ke atas panggung dan menekan tombol on di mic nya.
            “Selamat malam semuanya.” sorak sorai terdengar saat mas Ardan mulai bersuara. Kita mencari tempat duduk yang nyaman untuk mendengarkan pidato mas Ardan “Terimakasih untuk semuanya yang udah kerja keras untuk acara kita malam ini. Alhamdulillah acara kita SUKSES!! Untuk kesekian kalinya.”
            “Wooohooooy, I love you Ardan!” teriak mbak Sofi yang tiba-tiba dipelototi pacarnya.
            “Terima kasih buat kalian yang udah rela pulang ke kampung halaman untuk mengurusi acara kita ini. Thank you sooo much buat Vani yang mau tampil untuk kami meskipun ditentang oleh Rika.”
            Aku menyenggol bahu Vani yang tersipu. Semua temen-temen nge-cie-cie-in Vani dan mas Ardan. Suasana kembali hening ketika mas Ardan mulai serius dalam suaranya.
            “Okey, hari ini aku ingin berbagi perasaan dengan kalian. Perasaan yang selama ini memang aku sengaja pendam untuk kebaikan bersama khususnya. Ehm, mungkin kalian pikir selama ini aku gak pernah bisa dapetin Vani. Kalian pasti mengira bahwa aku dan Vani ada hubungan khusus, sebenarnya anggapan kalian salah. Aku dan Vani hanya berteman biasa, kita memang dekat karena kita memang saling membutuhkan. Maksudnya disini adalah, aku selalu main kerumah Vani karena aku mengajarinya untuk mendalami pelajaran fisika pada saat itu. Selain itu, aku juga pengen tau informasi tentang seseorang.” mas Ardan menghela napasnya, aku melihat Vani tersenyum tanpa melepaskan pandangannya kepada mas Ardan.
            “Aku menyukai seseorang, dan tentunya bukan Vani. Gadis ini sudah mengajariku cara bersabar dalam menghadapi perdebatan, memberikanku kesempatan untuk bisa mendekati Vani meskipun bukan itu tujuanku selama ini. Setelah aku paham, aku sadar, hal yang belum aku lakukan sampai saat ini adalah menyatakan perasaanku terhadapnya.” Aku mulai sadar Riko menatap dingin kearahku, namun aku hanya berusaha menatap lurus kearah panggung, entah apa yang kulihat. Semua terasa samar. Kini mas Ardan mulai menatapku.
            “Aku ingin ungkapkan saai ini juga…
            “Gadis yang selama ini kuincar adalah kau. Erika Saviana. Maukah kau menjadi kekasihku?”
            Kini tubuhku benar-benar kaku, pandanganku mulai kabur, kuarahkan bola mataku kearah Riko yang sedari tadi menatap dingin kearahku. Sorak sorai temen-temen yang mendukung mas Ardan terdengar agar aku menerimanya, aku hanya bisa menelan ludah sambil mengalihkan pandanganku dari Riko. Aku salah, selama ini orang yang kuanggap mendekati sahabatku ternyata hanya memanfaatkannya untuk mengorek informasi tentangku. Dia tak pernah menunjukkan bahwa dirinya menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Dadaku terasa sesak dan air mataku mulai menetes, mengapa aku harus menangis? Apa yang kutangisi? Kudengar seseorang memintaku untuk memberikan jawaban. Seketika semuanya terdiam, aku melihat mas Ardan yang masih menungguku untuk bersuara dan aku menatap Riko yang masih memberikan tatapan dingin terhadapku. Aku hanya bisa menghela napas dan memberanikan diri untuk berkata “Maaf, aku …” kulihat Riko masih dalam posisinya “Aku … gak bisa nerima kamu” aku gak tau kenapa berat banget mengatakannya. Ku tundukkan pandanganku, tak ada satupun orang yang berbicara. Akhirnya aku mengangkat suara “Aku sudah mencintai orang lain, dan dia juga berada disini. Maafkan aku.”

            Aku memutar badan untuk pergi dari sini, memberikan sedikit senyumanku kepada mas Ardan dan Riko. Terlihat wajah Riko tidak sedingin tadi, aku menghela napas yang sangat panjang. Rasanya malam ini dadaku kembali longgar setelah sulit untuk bernafas. Aku telah mematahkan hati seseorang.

Komentar

Postingan Populer