Cerbung #3 ESaviana
Viana
·
Saat itu aku sedang melihat pertunjukan Vani
Florisa, gadis yang bisa dikatakan seumuran denganku yang piawai dalam bermain
piano. Bagaimana tidak, dari kecil mainannya adalah keyboard kecil yang
diberikan ayahnya. Ia membuat not-not yang digabungnya sendiri sehingga menjadi
sebuah karya, aku ingat pada saat kita kecil ia membuatkanku instrumen tentang
persahabatan. Dan sangat berantakan, aku mencelanya pada saat itu karena tak
dapat kupungkiri bahwa lagu yang ia ciptakan tidak tersusun secara rapi. Vani
bukan orang yang pemarah, ia suka mendapat kritikan yang membangun bagi
dirinya. Gak heran kalau sekarang dia mulai bisa membagikan karya-karyanya di
kancah musik nasional, dan sungguh. Karyanya sekarang bisa dikatakan sempurna
dengan penampilannya yang elegan. Aku menemuinya dirumah, sehari setelah
pertujukannya digelar.
“Rasanya gak nyangka banget ya, dulu kau
membuatkanku instrument tentang sahabat. Sedangkan aku tidak menyukainya,
sekarang aku tahu. Kau lebih hebat dari yang kubayangkan.” kataku setelah
meneguk es teh manis yang baru saja disuguhkannya.
“Kau tahu, saat itu aku membayangkan sedang
bermusuhan denganmu.” jawabnya sambil menerawang jauh kedepan.
“Setiap hari kita memang bermusuhan, namun itu
bertujuan baik. Aku bisa melindungimu dengan omelanku itu.”
“Ya benar, sampai saat ini. Aku belum bisa menemukan
teman seperti dirimu, aku cenderung menutup diri dari dunia luar. Aku bukan
orang yang gampang bergaul, sepertimu.”
“Ah sudahlah, aku berharap kau takkan menemukan
orang sepertiku di dunia ini.”
“Mulai lagi deh, iya aku tahu. Kamu hanya satu,
Erika Saviana sahabatku selamanya.” ia mengucapkan sandi kita saat masih kecil.
Bahwa aku dan dia tak akan ada duanya, Vani yang sekarang adalah Vani yang
masih aku kenal dari dulu. Pendiam dan asyik jika aku sudah berhasil
memancingnya bercerita, dan kita telah berjanji bahwa akan menjadi sahabat
untuk selamanya. Terkesan sedikit berlebihan memang, namun janji anak kecil
takkan bisa terlupakan. Itu yang dapat kuterima dari persahabatan kita.
***
Saat ini aku tidak sedang melewati
liburan panjang, aku menyempatkan pulang ke Boyolali untuk rehat sejenak dari
tugas-tugas skripsiku. Terkesan nyantai memang, karena tinggal bagian akhir
dari yang kukerjakan. Selain itu aku mendapat informasi bahwa Vani akan menjadi
bintang tamu di Boyolali, alasan terkuat untuk pulang dan menemuinya. Undangan
rapat karang taruna tergeletak dimeja belajarku, kertas itu tertiup angin yang
menerobos masuk dari jendela kamar yang sedari tadi kubuka. Seakan ingin dibaca,
kuambil kertas itu dan kuletakkan kembali diatas meja. “Gak lihat orang lagi
berlibur aja.”
“Sayang, nanti malem kamu ada rapat
karang taruna loh.” mama mengingatkanku saat beliau lewat didepan kamar.
“Hm, Rika pasti dateng kok Ma.”
jawabku sedikit malas.
“Halah, kamu itu. Dapet undangan kok
selalu saja suntuk.”
“Lagian, mereka ngundang pas aku
liburan. Dulu waktu senggang, gak ada undangan.”
“Emang sekarang kamu sibuk apa?”
“Eh he he, gak ada sih Ma. Yaudah,
Rika mandi dulu deh.”
Undangan mulai pukul 7.30 malam,
sedangkan aku berangkat pukul 7 malam setelah sholat Isya’. Aku setipe sama
Vani, dari dulu kita selalu datang setengah jam lebih awal setiap kita
menghadiri acara. Selain jadi pengisi presensi paling awal, kita juga bisa
bantu-bantu tuan rumah jika mereka membutuhkan bantuan. Dan yang pasti, kita
tidak akan ditunjuk sebagai pembawa acara untuk kegiatan rutin.
Tidak seperti biasa, acara kali ini
on time. Waktu menunjukkan pukul 19.25 dan ketua karang taruna memberikan pidato
singkatnya. Sungguh kejadian yang luar biasa sepanjang sejarah perkarang
tarunaan di wilayahku. Seperti biasa, ketua mengadakan presensi dan menanyakan
siapa yang tidak menghadiri acara malam ini. Mereka melihat kearahku seperti
hendak menanyakan sesuatu. Aku tahu maksud mereka, siapa lagi kalau bukan Vani.
Dia orang yang selama ini selalu datang awal bersamaku. Kali ini aku tidak bisa
memaksanya untuk mengikuti rapat ini, bahkan aku yang menyarankannya untuk
tidak datang. Dia tidak sepertiku, yang seenaknya bisa memecahkan konsentrasi.
Jadi kusarankan saja dia untuk mempersiapkan penampilannya dikampus, daripada
pikirannya mulai terpecah.
Kampungku termasuk ahli dalam
mengorganisir suatu perlombaan dan acara. Selain salah satu dari kami ada yang
bekerja sebagai EO professional, anggotanyapun sangat care dan respect terhadap
kampung kita. Gak ada senioritas, semuanya bekerja secara adil dan nyaman
dengan pekerjaannya. Sebentar lagi kami akan memperingati HUT karang taruna ke 20,
tahun lalu kami tidak mengadakan acara apa-apa karena suatu hal. Sekarang kami
bisa kembali memeriahkan kampung dengan acara-acara yang kami susun.
“Ok, untuk kegiatannya kita minta
tolong Vani bisa gak ya buat ngisi?” kata mas Ardan, ketua karang taruna kita.
“Maaf Mas, kayaknya gak bisa deh.
Dia lagi prepare buat acaranya dikampus.” kataku menjawab pertanyaan mas Ardan.
“Yaelah, acara buat kampus aja bisa.
Masa buat karang taruna kita gak bisa sih Rik?” sergah mas Jono, ketua panitia
acara kami nanti.
“Ya kan kasian dia kalo harus mecah
konsentrasi.” kataku cuek. Aku memang dikenal sebagai anak yang cuek dan gampang
diajak berdebat. Aku selalu mempertahankan argumenku jika kurasa benar, tapi
kadang cuman Vani yang bisa menyadarkanku kalau sudah keterlaluan. Namun aku
cukup sportif jika sudah diambil keputusan bersama, meskipun aku akan selalu
mengkritik mereka langsung ditempat.
Mas Ardan tidak menggubris argumenku
tentang Vani, ia berusaha menghubungi Vani saat itu juga. Aku yang langsung
nimbrung dalam obrolan mereka dicegah oleh Vani, nampaknya dia tertarik untuk
menjadi pengisi acara. Namun dengan syarat bahwa ia tidak dimasukkan dalam
kepanitiaan.
“Yah Rika, kamu sih jahat. Ntar yang
bantuin aku nyiapin konsumsi jadi gak lengkap dong?” kata mbak Sofi yang
menjadi koordinator seksi konsumsi. Vani jago masak, apalagi bikin kue. Pantes
aja mbak Sofi kehilangan banget, karena dia sangat mengharapkan kue bikinan
Vani.
“Ealah mbak, apa mau aku bantuin?” kataku sembari tersenyum jahil.
“Aduh
ogah, bisa habis makananku sebelum selesai acara.” mbak Sofi mencibir kearahku,
meskipun umurnya satu tahun lebih tua dari aku. Sifatnya masih kekanak-kanakan,
kini dia baru nunggu hasil lamaran kerjanya di kejaksaan Boyolali.
Aku
ada di seksi acara, bersama dengan Riko dan mas Febri yang jadi Koordinator
seksi kami. Hal yang paling kubenci semenjak karang taruna ini ketika
dinobatkan jadi satu seksi dengan Riko. Semua orang manggil kita dengan sebutan
‘Rik’ dan terkadang, banyak yang jahil memanggil kami disaat sedang bekerja
bersama. Dan selalu saja aku yang menjadi korban kejahilan mereka, yang
biasanya seperti ini “Eh Rik,” ketika aku yang menoleh si pemanggil menjawab “Riko
maksudnya, GR banget sih.” Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya
waktu, kami berdua sepakat akan meneriaki mereka jika tidak memanggil kami
dengan nama yang lengkap. Seperti yang sedang kami lakukan sekarang,
Mas
Ardan sedang membetulkan lampu yang terpasang miring dipanggung, “Rik, tolong
ambilin obeng!” serunya.
“RIK
SIAPAA? RIK NYA ADA DUA. YANG SATU COWOK. YANG SATU CEWEK.” seru kami
bergantian. Mas Febri hanya geleng-geleng melihat ulah kami.
“Ya
Allah kompak bener, Erika aja deh.” seru mas Ardan kemudian. Lalu aku
memberikan obengnya dan membantu mas Ardan membetulkan lampu-lampu itu. Dia
pemuda paling alim dikampung kita, selain itu juga bening. Gak salah kalau
banyak cewek yang cari perhatian dengannya jika sedang kumpul. Tapi aku gak
tertarik untuk cari perhatian sama dia, Vani taruhannya. Kabarnya sih mas Ardan
masih suka dengan Vani sampai sekarang, tapi gadis itu gak pernah menanggapinya.
“Eh
mas, gimana kalo kita terbangin lampion untuk acara terakhirnya?” kataku
kemudian.
“Ide
bagus tuh, kamu suka yang romantis ya?”
“Kok
gitu?”
“Ya
kan kalo pake lampion tuh kesannya romantis gitu.”
“Yeee
sok tau.” kataku saat mengikuti kursi mas Ardan yang sedang digesernya. “By the
way, mas Ardan bakal bawa cewek gak besok waktu acara? Denger-denger sih, pada
mau ngajak pasangannya kesini.”
“Oya?”
ia masih serius membetulkan lampunya “Kalo aku sih gak usah ngajak, dia udah
ada disini kok.” katanya kemudian sambil menatap kearahku. Sumpah berantakan
banget rambutnya.
“Hah?
Serius mas? Kok dia gak cerita ya sama aku.” sebelum aku sempat
mengintrogasinya, mas Jono memintaku untuk membantu Riko lagi. Akan kuremas
rambut Vani jika kita bertemu besok, enak aja udah jadian sama mas Ardan tapi
gak ada traktiran buat aku.
Menjadi
seksi acara itu gak ribet pada saat ini, kita ribetnya kalo udah hari-H.
Seperti saat ini, aku dan Riko sedang asyik angkat junjung meja yang nantinya
digunakan untuk lomba kelereng. Membeli peralatan kesana kemari untuk acara
lomba, bantuin kak Sofi ambil makan siang untuk hari ini, bantuin pasang
dekorasi buat dipanggung. Rasanya kerjaan ini kaya cuman aku dan Riko yang
ngerjain, setelah mas Ardan memberi tahu bahwa kita hanya dikerjain. Batinku
gak karuan sama temen-temen yang lain, kita buat ulah ke mereka sebagai
balasannya.
“Er,
kita makan es degan dulu yuk. Gerah banget nih.” ajak Riko saat kita sedang
mengambil makan siang untuk mereka.
“Heh,
sekalian aja jatah makan kita dimakan disini. Biar tau rasa mereka tu kelaparan,”
senyum jahat kuberikan kepada Riko. Dia yang selalu asyik diajak bicara
mengangguk tanda setuju. Kamipun melahap jatah makanan kami yang telah
dibungkus sambil meminum es degan yang sangat menyegarkan. Telepon yang masuk
tidak kami gubris, adapun satu yang diangkat Riko dibilangnya kami sedang
kemacetan. Okefix, sejak kapan Boyolali kena macet? Sungguh ironi jika mereka
mempercayai kami.
Komentar
Posting Komentar