Cerbung #2 VFlorisa
Florisa
Vani datang ke auditorium setengah jam sebelum acara
gladi resik dimulai, ia selalu datang lebih awal karena ingin mengecek piano
yang akan dimainkannya sendiri. Meskipun sebenarnya pengecekan telah dilakukan
oleh panitia. Terlihat pemandangan para panitia yang sedang mempersiapkan
segala sesuatunya, “Boleh saya cek pianonya?”
“Boleh
kak, tapi itu baru dicek panitia yang ada disana. Mari saya antar.” kata salah
satu panitia yang diajak bicara dengan Vani. Saat ini sedang berlangsung gladi
resik oleh satu band yang berasal dari jurusan Psikologi juga. Vani mengenal
mereka semua, “Temen dikelas Masjo,” kata Vani saat Jojo heran artisnya itu
berbicara dengan salah satu personil dari atas panggung. Sesampainya
dipanggung, Vani memastikan tidak ada nada yang fals dari piano itu. Terlihat
seorang panitia menghampiri dirinya dan berkata bahwa ini waktunya Vani melakukan
gladi resik. Sejenak Vani memejamkan matanya dan mulai mengayunkan jari
jemarinya, terlihat semua panitia berhenti dari pekerjaannya dan mendengar
penampilan Vani.
Sebagian
besar panitia mendekat dan duduk lesehan didepan panggung, seorang pemuda
sedang memperhatikan dipintu masuk auditorium. Ia selalu terpukau melihat
permainan Vani, pandangannya tak lepas dari jari-jemari Vani yang fleksibel. Ia
merasakan alunan musik yang sangat menentramkan. “Ayo masuk aja Mas, Vani lebih
cantik dilihat dari dekat.” ajak seorang panitia kepada pemuda itu. Namun ia
menolak dan tidak melepaskan pandangannya, ia tetap berada dalam posisinya itu.
Lagu kedua yang dimainkan Vani lebih menyentuh dibanding lagu pertama, ia
mengingat bahwa acara ini diselenggarakan pada malam hari dan cocok untuk
pasangan kekasih. Terlihat para panitia menitikkan air matanya dan sangat
menghayati lagu yang dimainkan Vani. Jojo terlihat sedikit tegar karena ia
menahan perasaan yang sebenarnya ikut hanyut dalam suasana. Ia mulai terbiasa
dengan alunan yang dibawakan oleh Vani karena tidak selamanya ia terus-terusan
menangis saat Vani tampil. Nada sol yang merupakan bagian akhir dari lagu itu
mengantarkan Vani untuk membuka kedua matanya. Hening disekitarnya membuat
dirinya ingin menengok kearah tribun, suara tepuk tangan salah satu panitia
mengantarkan gemuruh suara tangan dari panitia lain yang berada digedung itu.
Vani tak percaya bahwa sebagian besar panitia telah berkumpul didepan
panggungnya, ia berdiri memberi penghormatannya.
***
Malam
ini Vani sangat cantik, gaun yang diberi motif ikat pinggang oleh Jojo membuat
gaun itu semakin terlihat elegan. Rambut Vani yang dikepang kecil disamping
kiri kepalanya membuat gadis itu terlihat fresh, polesan make up yang diberikan
Jojo menambah kecantikan Vani. Semua mata panitia tertuju padanya saat Vani
berjalan ke belakang panggung. “Dek, ada kiriman bunga untuk kamu.” kata salah
satu panitia yang berada disana.
Sebelum
Vani sempat menanyakan siapa pengirimnya, tiba-tiba pengirim itu berusaha masuk
ke ruangannya yang dijaga oleh para panitia “Maaf dek, aku udah berusaha
mencegahnya untuk tidak masuk ke belakang panggung. Namun dia memaksa.” dia
adalah Bima.
“Aku
mau ngomong bentar sama Kak Vani!” bentak Bima yang sedari tadi masih melawan
masuk.
“Tolong
lepasin dia Mas, gak papa kok kalau cuman sebentar. Saya kenal dengan dia.”
Bima menjulurkan lidahnya ke panitia seksi keamanan. Dengan segera, ia
mendekati Vani dan berlutut dihadapannya.
“Kamu
dah dapet bunga dari aku kan? Kamu suka?”
Vani
hanya mengangguk, jadi benar. Selama ini Bima yang selalu mengirim bunga kepada
Vani, “Kamu dah baca pesannya?”
“Belum
Bim, gimana mau baca. Kamu maksa masuk sih.”
“Aku cuman mau semangatin kamu disini.
Penampilanmu selalu memukau, kamu cantik malam ini.”
“Gimana kamu bisa tau penampilanku
memukau? Aku tampil baru 15 menit lagi.” Belum sempat Bima melanjutkan omongannya,
panitia menyuruhnya keluar. Vani membuka pesan yang dituliskan Bima.
Semangat
Kak Vani!!! :*
Gaya
tulisannya berbeda dengan buket bunga yang sebelumnya, Vani berjalan kearah
Bima yang belum keluar. “Bim!”
Merasa
dirinya dipanggil, Bima berbalik. Ia hanya menatap Vani dengan penuh tanda
tanya. “Nama lengkapmu siapa?” tanya Vani kemudian.
“Muhammad
Bimalana. Kenapa kak?” Vani terdiam dan tak menjawab pertanyaan Bima, panitia
mengisyaratkan Vani agar segera bersiap-siap. Suara pembawa acara memanggil Vani
dan diikuti gemuruh tepuk tangan penonton yang menghadiri acara pada malam hari
ini. Vani berjalan ke tengah panggung untuk menyapa teman-teman kampusnya,
gaunnya menjadi perbincangan para gadis yang melihat pertujukan itu. “Ya Ampun,
simple banget. Tapi kece.”, “Pasti gaunnya mahal, aku pasti beli.”,
“Wedgesnyaaa,”, “Sssssst. Berisik banget sih!”
Vani
mengayunkan tangannya sembari memejamkan mata, semua yang hadir memperhatikan
gerak geriknya. Tak ada handphone yang berbunyi dalam gedung itu, semua telinga
disiapkan untuk mendengar alunan merdu dari tangan Vani. Seluruh panitia yang
bertugas diluar memasuki ruangan untuk mendengar karya seorang Vani. Lagu
pertama selesai, tak ada aba-aba tepuk tangan dari panitia. Vani menggabungkan
lagu pertama dan kedua sekaligus, jarak antar lagu sangat terlihat jelas
ditelinga Vani. Namun tidak untuk mereka yang awam tentang instrumental, lagu
kedua membuat bulu kuduk penonton berdiri. Perasaan mereka hanyut dalam lagu
yang dimainkan Vani, terlihat pasangan kekasih saling mempererat genggamannya.
Semua terlarut dalam atmosfer yang diciptakan Vani. Ia mengakhiri lagu itu
dengan sempurnya, panitia pemberi aba-aba tepuk tangan lupa jika permainan
telah usai. Vani membuka matanya, semua penonton memberikan standing applause.
Dengan langkah santai, ia memberikan penghormatannya.
Vani
memberikan kesempatan bagi teman-temannya yang ingin berfoto, ia mendapatkan
banyak sanjungan dalam acara malam hari ini. “Permainan yang sempurna.” kata
Jojo setelah teman-temannya pergi. Vani keluar dari gedung itu setelah panitia
meminta untuk berfoto dengannya. Dari sudut matanya, terlihat seorang pemuda
sedang melihat kearahnya. Vani mengenal pemuda itu dan menghampirinya. “Mas
Akbar, kamu …?”
“Iya
aku tadi nonton.” kata Akbar seakan mengetahui jalan pikiran Vani. “Apa kabar?”
“Emm,
baik. Aku baik.” tak tahu kenapa, Vani merasakan sesak didadanya. Ternyata
Akbar memiliki senyuman yang sangat manis, mungkin itu salah satu penyebab
sesaknya dada Vani saat ini. Akbar meminta Vani untuk sedikit berbincang
dengannya.
“Siang
itu, Sinta memintaku untuk menemaninya dalam sebuah pertunjukan. Aku menolaknya
karena tidak tertarik dengan acara yang begitu membosankan bagiku. Ia ingin
melihat seorang gadis cantik, katanya. Semenjak gadis itu muncul, Sinta semakin
semangat untuk bermain piano. Kami memiliki piano tua yang ditinggalkan papa
setelah orang tua kami bercerai, bakat ayah sebagai pianis menurun ke Sinta. Ia
memiliki album-album dan melihat setiap pertunjukan gadis itu diberbagai acara,
ia menghafal lagu-lagu karya gadis itu dan mencermatinya dengan seksama.
Terkadang ia bisa mengeluarkan air mata saat memainkannya, bisa tersenyum,
bahkan tertawa dengan lagu-lagu itu. Hingga suatu ketika, gadis itu diundang
dalam sebuah acara amal yang dihadiri oleh Sinta. Ia sangat senang bisa bertemu
idolanya dan mendengarkan langsung alunan musik gadis itu, ia bercerita padaku
bahwa gadis itu lebih cantik jika dilihat secara langsung, mendapat tanda
tangan, dan dapat berbicara langsung dengannya. Namun ia kecewa, tak bisa
berfoto dengannya pada saat itu.” Akbar menghela nafasnya dan melihat kearah
Vani. “Mau dengar lanjutannya?”
Vani
mengangguk “Malam harinya, ia mengajakku memainkan piano papa. Sembari
mendengar lagu dari si gadis, ia meniru semua gerakan dari idolanya.” Akbar
berhenti sejenak. “Dua hari kemudian, penyakitnya kambuh. Mama sangat cemas
dengan keadaan Sinta, ia memintaku untuk mengantarkannya kerumah sakit tempat
biasa dia berobat. Sinta menderita leukemia sejak ia bayi, hidupnya tergantung
pada obat-obatan. Sudah seminggu ia terbaring tak berdaya, aku udah coba
memperdengarkannya lagu-lagu gadis itu agar ia mau terbangun. Usahaku gagal,
hingga pada akhirnya ia terbangun dan memberikan pesan untukku. Gadis itu suka
bunga, katanya. Ia memintaku untuk mengirim bunga kepada si gadis sekali saja.
Aku bingung dengan permintaannya, ia memberikanku alamat rumah gadis itu. Ia
berkata juga, jika aku berhasil menemuinya, sampaikan salam Sinta kepada gadis
itu.” Akbar menahan napasnya, “Sinta pergi dipelukan mama.”
Vani tak
bisa berkata apa-apa, ia bingung, dan sedih mendengar cerita Akbar. “Lalu,
apakah kamu sudah menemui gadis itu?”
Akbar
tersenyum mendengar pertanyaan Vani, “Kau ingat gadis kecil yang menemuimu
pertama kali saat kau sedang show di Boyolali?”
Vani mencoba mengingat, “Apakah dia anak
yang manis, berambut pendek sedikit pirang, umurnya sekitar sepuluh tahunan dan
berkacamata bulat?”
“Benar.” Akbar memandang lurus kedepan.
“Dan gadis itu adalah kamu.” Akbar tidak sanggup menatap mata Vani, ia takut
jika gadis yang didepannya ini menertawakan ceritanya. Mereka sama-sama
terdiam, mendalami jalan pikiran mereka masing-masing.
Vani masih belum percaya apa yang
dikatakan Akbar, gadis kecil yang ia anggap baik-baik saja telah tiada. “Aku
terima salam dari Sinta, apakah …” Vani terburu menerima buket bunga dari
Akbar, bunga yang sama dengan bunga lainnya.
“Aku harus pergi, senang bertemu
denganmu.” Akbar berjalan meninggalkan Vani yang masih memiliki tanda tanya
besar dikepalanya.
“Tunggu!” sesuai harapan, Akbar berhenti
sebelum ia melangkah lebih jauh. “Siapa nama lengkapmu?”
Akbar memutar badannya “Akbario
Saputra.” kini ia benar-benar pergi meninggalkan Vani. Ia mencari kartu ucapan
yang biasa ia terima, kini ia bisa tertidur pulas.
KINI AKU BENAR-BENAR PERCAYA
KAMU TERLIHAT
MEMUKAU DARI YANG KUDUGA :)
-Akbario
Komentar
Posting Komentar