cerbung eps.3
Sampai akhirnya ia ingin mengikuti sebuah
lomba yang seharusnya belum jalannya untuk ikut. Sebuah karya lukis tingkat
provinsi yang diikuti oleh beberapa siswa SD, ayahku akhirnya menuruti kemauan
adikku ini meski dia tidak yakin akan kemampuannya. Namun aku merasa bahwa Robi
akan jadi juara meski tidak masuk juara umum. Aku melihat bakatnya yang sangat
mengesankan dan memang seharusnya ia mulai diikutkan dalam perlombaan. Namun
saat itu orang tuaku sedang dinas diluar kota sehingga hanya aku dan pamanku
yang menemaninya lomba. Tebakanku benar, ternyata Roby menang dalam perlombaan
itu dan mempersembahkan piala gubernur untuk dirinya sendiri.
Di sekolah, adikku jadi bahan pembicaraan
tentang prestasinya. Anak yang belum merasakan bangku sekolah itu telah
mendapatkan penghargaan piala gubernur.
“Apakah dia benar adikmu dit?” tanya salah
satu temanku.
“Tapi kelihatannya kok berbeda ya? Ga ada
mirip-miripnya sama sekali,” sahut lainnya.
“Atau mungkin kamu anak tiri mereka kali dit?
Ups, bercanda loh.”
Celotehan itu membuatku risih, tapi tak ku
masukkan dalam hati. Karena mereka memang tak tahu bahwa aku bukan kakak
kandung Roby. Hanya saja ku balas dengan celotehan yang selalu ku lontarkan.
Kini dia telah masuk ke kelas 1 SMP,
perlombaan yang dia peroleh selama ini dapat dijadikan modal untuk masuk ke
sekolah favoritnya itu. Dia sangat beruntung, mempunyai orang tua yang sangat
sayang kepadanya dan bisa mendapatkan apa yang dia mau dengan sendirinya. Dan
bisa dibilang, dari dulu ia tak pernah meminta apapun dari orang tuanya. Semua
yang ia mau bisa terwujud berkat usahanya sendiri. Terkadang aku malu kepada
diriku sendiri, kenapa aku bisa kalah dari adik tiriku.
Roby menemukan selebaran tentang pameran
lukisan di Solo. Dengan wajah yang ceria, ia perlihatkan selebaran itu padaku.
Seraya melihat kalender di dinding ruang keluarga kami, ia mengajakku untuk
pergi kesana sekedar melihat-lihat. Ayahku yang tak diajaknya pun ingin melihat
pameran tersebut. Akupun mengikuti ajakan Roby.
Minggu pagi yang cerah, dengan wajah
berseri-seri Roby keluar dari kamar.
“Mau kencan ya Rob? Rapi bener.” tanyaku.
“Ah kakak bisa aja. Kencan ama lukisan, iya,”
jawabnya enteng.
“Sudah siap semua nih ceritanya, ayo
berangkat,” kata ayah.
Diperjalanan, banyak pengalaman yang ia
ceritakan padaku. Mulai dari dia mengikuti beberapa perlombaan, saat dia
mendapat piala, saat masuk SMP pertama, bahkan cita-citanya yang ingin
mendirikan galeri lukisan sendiri. Kekagumanku terhadapnya semakin bertambah,
rasa cintanya terhadap dunia seni telah mengantarkannya ke jiwa sosial yang
tinggi. Hal itu dibuktikannya ketika kami mendapati seorang anak sedang
menjajakan korannya ditengah teriknya matahari, didekatinya anak itu. Dan dia
mengajak ngobrol anak itu.
Setelah
begitu lama aku dan ayah menunggu Roby yang sedang asyik bercakap-cakap dengan
anak itu, ia masuk mobil kembali. Diceritakannya apa yang baru saja ia alami
barusan, aku merasa Roby kini menjadi anak yang “sok tahu” meskipun aku tahu
semua ide-idenya selalu imajinatif. Sampai akhirnya kita sampai dipameran
lukisan. Banyak lukisan unik dipajang disana, dengan melihat lukisan tersebut
ia seperti mendapat ilham untuk melakukan sesuatu.
Komentar
Posting Komentar