Cerbung #1 VFlorisa
Florisa
Tepuk tangan penonton bergemuruh ketika
Vani mulai mengakhiri jari-jarinya yang menekan tuts piano malam itu. Dengan
perasaan lega ia berdiri dan menundukkan badannya kearah penonton yang telah
puas menikmati pemainan Vani. Ia menjadi bintang tamu acara amal yang
diselenggarakan perusahaan asuransi dikota tercintanya, pertunjukan ini adalah
kali pertama Vani memegang gelar bintang tamu. Selain karena animo pertunjukan
piano warga Boyolali yang minim, Vani Florisa yang tiga tahun belakangan ini
sibuk mencari uang dengan manggung disana-sini baru sempat menengok kota
kelahirannya itu. Dengan bermodalkan keyboard kecil yang diberikan ayahnya, ia
mencoba peruntungan ke kota besar untuk mencari pekerjaan sesuai dengan
bakatnya. Awalnya ia pergi ke sebuah kafe kecil di kota Solo untuk sekedar
memainkan sebuah lagu dengan piano tua yang ada disana. Sesaat setelah lagu itu
selesai, teriakan pengunjung kafe mengagetkan Vani yang sedari tadi memejamkan
matanya. Mereka menginginkan satu lagu lagi untuk dimainkan Vani, alunan yang
ia berikan sungguh menentramkan, begitu kata sebagian besar pengunjung wanita
yang sedang berada disana. Sejak saat itulah ia dijadikan sebagai pemain piano
tetap dikafe itu, sedikit demi sedikit ia kumpulkan uangnya untuk biaya
kuliahnya sendiri.
Saat ini Vani sedang menikmati puncak
karirnya sebagai pianis sekaligus mahasiswi UNS jurusan Psikologi. Masuknya
Vani yang lebih lambat dua tahun dari teman seangkatannya itu mengagetkan
sebagian temannya yang juga kuliah ditempat yang sama. Mereka mengira bahwa
dengan karirnya yang sedang melejit ditahun 2002 ini, pendidikan sudah tidak
penting lagi baginya. “Vani pasti bisa sukses dengan piano ini ayah, dan Vani
pasti bisa kuliah dengan uang Vani sendiri” janji Vani dengan ayahnya tiga
tahun yang lalu. Kondisi keluarganya yang sangat sederhana tidak memungkinkan
dia untuk mengikuti pendaftaran kuliah pada saat itu, namun Vani selalu ingat
kata-kata ayahnya bahwa pendidikan nomor satu bagi setiap orang karena
Indonesia membutuhkan pemuda kita dalam perkembangannya. Dan semangat itu telah
tertanam pada jiwa Vani.
“Kak, boleh minta tanda tangannya?”
tanya seorang anak kecil yang menghampiri Vani setelah pertunjukan amal selesai.
Anak itu imut, berambut pendek sedikit pirang, umurnya sekitar sepuluh tahunan
dan berkacamata bulat.
“Wah, kamu punya CD kakak juga ya?”
tanya Vani sembari menandatangani CD yang berisi album keduanya itu.
“Iya kak, penampilan kakak selalu indah,
selalu cantik.” puji anak itu setelah mendapatkan CDnya kembali.
Vani tersenyum dan berterima kasih, anak
itu segera pergi karena antrian telah banyak menunggu Vani untuk berfoto maupun
meminta tanda tangan gadis itu. Ia tersenyum membayangkan usahanya selama ini,
sudut matanya melihat sepasang suami istri duduk bersama sembari
memperhatikannya. Vani sesekali menengok dan memberikan senyuman kepada mereka.
“Boleh minta tanda tangan, foto, album, kado, dan pianonya kak?” tanya seorang
gadis tiba-tiba. Vani sedikit takut dengan fans yang seperti ini, karena sebelumnya
ia belum pernah bertemu dengan fans yang meminta macam-macam padanya.
“Maukah kau berbagi denganku untuk kali
ini?” tanya gadis itu kembali, ia membuka topinya dan menatap mata Vani. Betapa
terkejutnya ia bahwa gadis yang dihadapannya saat ini adalah Aira Floriana,
adik kecilnya yang kini telah beranjak remaja. Diacak-acaknya rambut tebal
adiknya itu seraya pelukan erat mendarat di tubuh Aira.
“Kamu tinggi banget sekarang, dikasih
makan apa sama Ayah dan Ibu?” tanya Vani ketika ia melepaskan pelukannya.
“Dikasih makanan yang lebih bergizi dari
yang kakak makan.” Aira terkekeh mengucapkan kata-kata itu, tak terkecuali
Vani. Kini mereka menghampiri sepasang suami istri yang sedari tadi
memperhatikan Vani dari jauh. “Ayah, kak Vani sekarang hebat ya?”
“Siapa dulu dong ayahnya?” kata pria
yang dipanggil Ayah oleh Aira itu, adalah Herman, orangtua Vani yang selama ini
mengajarkan semua arti kehidupan pada gadis itu.
Tawa riang menghiasi keluarga kecil itu,
kali ini Vani sedang menikmati liburan semester dan pekerjaannya sebagai
pianis. Ia menghabiskan waktu sebulan dikota kelahirannya, rumahnya tidak
pernah sepi dari pengunjung. Entah mereka adalah sahabatnya, teman dekat orang
tuanya, teman-teman adiknya, tetangganya, bahkan saudaranya yang berada di
Kalimantan menyempatkan diri untuk menginap dirumah Vani saking bangganya
dengan gadis itu. Kondisi ekonomi keluarga Vani lebih baik setelah ia tenar
sebagai pianis, hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi dirinya karena
berhasil mengangkat derajat orang tuanya. Meskipun ia sendiri sadar, apa yang
diberikannya saat ini tidak akan pernah bisa membalas semua kasih sayang dan
restu yang telah mereka berikan kepada Vani.
Suatu
pagi, Vani mendapatkan buket bunga yang dikirim via pos oleh seseorang.
Nampaknya kali ini ketenarannya telah diketahui pegawai pos yang mengirim buket
bunga saat itu. Terbukti ketika ia dimintai tanda tangan dialbum CD yang dibawa
pak pos yang sangat mengejutkan Vani. “Bapak membeli CD saya juga?” tanya Vani
sedikit penasaran.
“Bukan
saya nduk yang beli, ini milik anak
saya. Dia fans berat nduk Vani.” aku
bapak pos itu.
“Ya
Allah, terima kasih Bapak. Tolong sampaikan salam saya kepada anak Bapak ya.”
kata Vani kemudian. Ia menandatangani tanda bukti pengiriman beserta CD yang
diberikan bapak pos itu. “Lalu bunga ini dari siapa ya pak?”
“Dicari
saja nduk, ada kertas ucapan atau
tidak. Pengirimnya sok misterius.” Vani terkekeh mendengar kata-kata bapak pos,
ia kemudian mencari kartu yang dimaksud setelah beliau pergi untuk bekerja
kembali.
KATA ADIKKU, PERMAINANMU BAGUS
DAN KAMU LEBIH CANTIK ASLINYA. SAYANG AKU
GAK BISA DATANG MELIHAT PERTUNJUKANMU
-Rio
Rio?
Sejak kapan aku punya teman yang bernama Rio? Vani mengingat kembali
teman-temannya, ia tidak merasa memiliki teman yang bernama Rio. Fans? Vani
mencoba menerka siapa pengirim buket bunga ini, baru kali ini dia mendapatkan
kado yang dikirim dirumah oleh penggemarnya. Memang sangat jarang Vani berada
dirumah Boyolali, namun selama ini ibunya tidak pernah menerima kado untuk
dirinya. Atau mungkin temen kuliah yang belum aku kenal? Ya, mungkin saja.
Selasa
adalah hari pertama yang akan dilalui Vani di semester keempatnya. Ia sudah
melakukan perjalanan ke Solo siang ini, ia tak perlu mengadakan penyamaran di
dalam bus yang ditumpanginya karena sebagian besar bus itu diisi oleh
wanita-wanita paruh baya yang tidak agresif saat melihatnya. Mereka tidak seperti
para penggemar yang kebanyakan para remaja. Seorang pemuda berumur dua puluhan
duduk disamping Vani sambil mengamankan tasnya. Ia sedikit menjepit tubuh Vani
ke arah kiri karena berusaha menyingkir dari bus yang sedang penuh sesak itu.
“Maaf,” tuturnya ketika berhasil mengambil posisi yang nyaman. Vani hanya
tersenyum dan melemparkan pandangannya keluar jendela. “Ehm, mau, kemana,
Mbak?” tanya pemuda itu gugup.
Vani
mengarahkan pandangannya ke pemuda itu, “Ke Solo Mas, UNS.” jawab Vani sambil
tersenyum. Pemuda itu terlihat salah tingkah ketika Vani memberikan senyuman
mautnya. “Mas sendiri, mau kemana?”
Pemuda
itu mencoba menghindari tubuh yang dari tadi bersandar ditangannya. “Saya juga
mau ke Solo Mbak, UNS juga. Mbak semester berapa?” bus mengerem mendadak dan
menyebabkan tubuhnya terdorong ke depan. Kepala pemuda itu terbentur kursi yang
berada didepannya dan seketika Vani tertawa melihatnya kesakitan.
“Vani,
panggil aku Vani saja. Aku semester 4, Mas sendiri?” tangan Vani terulur.
“Oh,
aku semester 6. Akbar.” pemuda itu menyambut uluran tangan Vani. Mereka mulai
bercerita dengan gayanya masing-masing, terkadang mereka membicarakan
dosen-dosen mereka yang dianggapnya aneh. Dan sepertinya pemuda ini tidak
mengetahui tentang Vani, ia tidak pernah menyinggung penampilan-penampilan yang
telah ditunjukkan Vani disetiap acaranya. Pemuda ini tidak seperti orang-orang
yang mencoba akrab dengannya dikampus. Akbar berbeda.
“Sampai
ketemu lagi Van,” kata Akbar setelah turun dari bus yang ditumpanginya bersama
Vani. Ia sangat senang dapat berjumpa dengan adik angkatannya yang dianggap
asyik itu. Tak memungkiri bahwa suatu hari ia ingin berjumpa lagi dengan Vani.
Dari
arah jam dua terlihat seseorang yang setengah berlari menghampiri Vani, Bima,
anak manajemen yang ‘masih’ mengejar cintanya. Ia selalu update tentang kabar
Vani dan sangat ingin memiliki Vani sebagai kekasihnya. Beribu kali Vani
menolak cintanya, namun berjuta kali Bima mengejar dan menunggunya. Seperti
kali ini, ia mengetahui bahwa Vani akan pulang siang ini dan Bima telah
menunggunya dari pagi. Dia penggemar sekaligus adik angkatan Vani yang kabarnya,
niat Bima masuk UNS jurusan Psikologi hanya agar bisa bertemu setiap saat dan
memberi semangat idolanya itu.
“Hai
Kak, baru pulang ya? Sini aku bantuin bawa.” pemuda yang sedang berada
disampingnya ini sebenarnya idola para gadis cheersleader. Vani bahkan tidak menyangkal bahwa Bima cukup tampan
dan oke untuk dijadikan kekasih, tapi entah mengapa Vani tidak tertarik untuk
menjalin hubungan dengan kapten tim basket ini.
“Gak
usah Bim, aku bisa sendiri kok. Makasih ya.” Vani mencoba seramah mungkin
dengan pemuda ini. Meskipun tidak suka, Vani tetap tidak tega bila mengusirnya.
Bagaimanapun juga ia telah sepakat bahwa meskipun ditolaknya, Bima masih bisa
menemui Vani jika tidak sedang manggung. Ia membiarkan Bima membawa
barang-barangnya.
“Pertunjukan
kakak di Boyolali gimana? Sukses?” tanya Bima saat mereka berjalan kearah kos
Vani.
“Alhamdulillah
sukses Bim.”
“Maaf
ya Kak, hari itu aku ada acara. Jadi gak bisa nonton pertunjukan kakak,” ia
menghela napas dan membetulkan tas Vani yang dirasa berat. “Tapi aku yakin,
pertunjukan kakak pasti sukses tanpa dilihat aku.” tutur Bima kemudian.
Vani
sedikit risih dengan kata-kata Bima, kalau dijawab takutnya kasih harapan
palsu, tapi kalau gak dijawab. Sifatnya yang kepedean itu selalu saja muncul,
Vani memilih diam dan sesekali mengalihkan pembicaraannya dengan Bima.
Sesampainya dikos, Bima berpamitan pulang dengan sendirinya. Vani merasa lega
karena Bima harus latihan basket sore ini dan bebannya dalam menanggap semua
kata-kata Bima telah lepas. Kini dia menaiki tangga untuk mencapai kamar
kosnya. Meskipun kini ia telah mapan, Vani tidak ingin bermewah-mewahan dalam
memilih kamar kos. Ia masih seperti gadis biasa yang menggantungkan hidupnya
dikos sederhana saat menjadi mahasiswa. Ia melihat karangan bunga tergeletak
didepan kamar kosnya.
UNTUK GADIS YANG BERHASIL MEMIKATKU
VANI FLORISA :)
-Rio
Rio
lagi? Apa jangan-jangan, Rio itu Bima? Vani mempersatukan keganjilan yang
terjadi hari ini. Bima sempat bercerita bahwa tidak melihat pertunjukan Vani
saat di Boyolali, lalu Rio ini memberikan buket bunga kepadanya sebagai
permintaan maaf. Lalu tak seperti biasanya Bima langsung pergi tanpa mengajak
Vani makan kali ini, tiba-tiba buket bunga dari Rio lagi muncul didepan kamar
kos Vani. Apa ini memang rencana Bima? Ia tidak mengajakku makan karena ia
telah menyelipkan buket bunga disini? batin Vani. Kalo dia memang Bima,
bisa-bisa aku jadi benci sama bunga! keluh Vani setelah masuk ke kamarnya.
***
“Halo,
apakah saya berbicara dengan kak Vani?”
“Ya,
saya sendiri. Maaf, siapa?”
“Saya
Dewi Kak, panitia pensi fakultas. Saya ingin memberi tahu, besok Sabtu ada
acara gladi resik seluruh pemain. Untuk itu, kakak diharap menghadiri GR pukul
10. Bagaimana?”
“Oh,
oke saya bisa. Di Auditorium kan?”
“Iya
kak. Terima kasih.” Dewi menunggu Vani memutus sambungan teleponnya. Ia sungkan
bila menutup telepon seorang pianis terkenal itu.
Vani
berterima kasih dan memutuskan sambungan teleponnya, pagi ini dia sedang
berlatih distudio pribadinya. Studio itu sebenarnya kios kecil yang telah
diatur sedemikian rupa oleh manajernya agar Vani dapat berlatih kapan saja dia
mau. Irama yang ia mainkan saat ini adalah lagu favoritnya dari Yiruma, ia
berlatih tanpa ada orang lain yang bisa menganggunya. Meskipun telah terbiasa
bermain piano, Vani selalu professional dalam menampilkan setiap karyanya. Ia
tidak pernah bosan memainkan pianonya berulang-ulang, jiwa bermusiknya telah
menjalar dikehidupannya pada saat ini. Disaat sendiri seperti ini, ia sering
menyusun not balok untuk menambah karya-karyanya. Suara seseorang yang berusaha
membuka pintu membuyarkan konsentrasi Vani, ia menengok ke sumber suara yang
berhasil masuk ke dalam. Orang itu adalah Jojo, asisten pribadi yang setia bagi
Vani. Ia diberikan kepercayaan untuk menjadi asisten setelah melalui
penyeleksian oleh manajernya. Usianya tujuh tahun lebih tua dari Vani, sedikit
lekong namun tegas, dan ia bisa dijadikan sahabat serta tempat curahan hati
Vani. “Hei, ada buket lagi nih.”
“Dari
siapa Masjo? Rio?”
“Tepcus.
Tepat capcus.” Vani menerima buket itu, tak salah lagi jika pengirimnya adalah
orang terdekat Vani saat ini. Kalau bukan orang terdekat, bagaimana ia tahu
kalau Vani sedang ada disini sekarang.
BERIKAN YANG TERBAIK
-Rio
“Sebenernya Rio itu siapa sih bo ? Sok misterius deh.”
“Masjo beneran gak punya kenalan yang
namanya Rio? Kira-kira dia dateng gak ya di pertunjukan besok Minggu?”
“Kayaknya
dateng sih bo’, kalo enggak. Mana
mungkin dia bisa kirim pesan itu ke kamyu. Eh cintaku, nih gaun baru yang harus
kau pake dipertunjukan besok.”
Vani
menerima gaun itu dan mencobanya, gaun berwarna silver dengan tinggi selutut
itu sangat cocok dikenakan ditubuhnya yang langsing. Ditambah wedges putih dan
sedikit aksesoris dilehernya membuat Vani tampak dewasa untuk kali ini. “Sini
cepetan dilepas bo’, mau kuubah dikit
nih dibagian pinggang.” Vani tidak menggubris ocehan Jojo, ia melanjutkan
permainannya dengan memakai gaun itu. Itung-itung gladi resik kostum untuk
Minggu besok.
***
Komentar
Posting Komentar